Definisi serta angka kekerapan diabetes gestasi menurut beberapa peneliti

0 komentar
Oleh : Prof. Dr. John MF Adam, SpPD-KE
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo/FK UNHAS
Makassar


Definisi:

        Adanya suatu bentuk diabetes melitus yang hanya ditemukan pada saat hamil dan menghilang setelah persalinan, telah disinggung oleh sarjana J Matthew Duncan pada tahun 1882. Walaupun demikian barulah pada tahun 1979 oleh National Diabetes Data Group di Amerika Serikat  dan kemudian WHO Expert Committee on Diabetes Mellitus  pada tahun 1980 mencantumkan diabetes gestasi dalam klasifikasinya sebagai bentuk diabetes melitus tersendiri.

  Sebelum tahun 1984 diabetes gestasi diartikan sebagai suatu gangguan toleransi glukosa yang terjadi sebagai akibat kehamilan dan akan kembali normal dalam waktu enam minggu pasca persalinan. Mengacu pada definisi tersebut, beberapa kesulitan akan ditemukan yaitu a) diabetes gestasi baru dapat didiagnosis setelah enam minggu pasca persalinan, yaitu apabila toleransi glukosa kembali normal dan b) dalam prakteknya tidaklah mudah untuk memanggil kembali para ibu setelah persalinan untuk dikontrol kembali dengan melakukan tes toleransi glukosa oral.

    Oleh karena itu di tahun 1984 pada Second International Workshop-Conference on Gestational Diabetes Mellitus di Chicago Amerika serikat telah disepakati suatu definisi yang baru sbb : diabetes gestasi adalah suatu intoleransi karbohidrat yang terjadi atau pertama kali diketahui pada saat kehamilan berlangsung. Pada definisi ini tidak dipersoalkan lagi apakah penderita tersebut mendapat pengobatan insulin atau hanya diet saja. Dengan definisi ini berarti diagnosis diabetes gestasi dapat dibuat saat kehamilan. Sampai saat ini definisi inilah yang diterima secara umum.

kekerapan diabetes gestasi menurut beberapa peneliti

     Data kepustakaan menunjukaan bahwa kekerapan diabetes gestasi sangat bervariasi (Lihat Tabel 1). Perbedaan angka kekerapan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain cara skrining, kriteria diagnosis yang dipakai, materi yang dipilih untuk skrining. Selain itu ada perbedaan kekerapan menurut ras tertentu.

     Oats,  membandingkan dua kriteria diagnosis diabetes gestasi yaitu kriteria WHO dan kriteria Mercy Maternity Hospital yang dipakai di klinik mereka. Ternyata dengan materi skrining Yang sama apabila mempergunakan definisi diabetes melitus menurut kriteria WHO maka angka kekerapan diabetes gestasi hanya 0,4% sedang dengan kriteria mereka angka kekerapan mencapai 2,4%.






















Sumber: Weia PAM: Gestational diabetes: A survey and the Graz approach to diagnosis and therapy. In Weiss PAM, Coustan DR (eds)”Gestational Diabetes”, Springer-verlag, Wien, 1988, 1-58.


    Skrining pada kelompok yang tergolong resiko tinggi pada umumnya menemukan angka yang lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa memiliki faktor resiko. Dietrich  menemukan angka kekerapan dua kali lebih banyak pada mereka dengan resiko tinggi dibandingkan mereka yang tanpa faktor resiko, yaitu masing-masing 4,2% dan 2,1%.

    Adam yang melakukan skrining pada 2074 wanita hamil menemukan angka kekerapan pada mereka dengan faktor resiko sebesar 3,0%, sedang pada mereka tanpa faktor resiko hanya 1,2%. Perbedaan etnis juga mempengaruhi angka kekerapan. Hal ini telah dibuktikan oleh Gyaneshwar yang meneliti dua kelompok etnis yang berbeda dikepulauan Fiji. Pada penduduk asli Fiji diabetes gestasi hanya ditemukan sebesar 0,6% sedang pada mereka yang keturunan India angka kekerapan diabetes gestasi jauh lebih besar yaitu 6,0%.

     Walaupun dalam kepustakaan terdapat kekerapan diabetes gestasi sangat berbeda, ternyata apabila cara skrining dan kriteria diagnosis mempergunakan cara yang sama atau hampir sama maka angka kekerapan tidaklah banyak berbeda. Dengan mempergunakan cara skrining dan kriteria dari O’Sullivan-Mahan, pada umumnya kekerapan diabetes gestasi tidak banyak berbeda yaitu berkisar antara 1,5-3,0%.

      Di Indonesia penelitian mengenai diabetes gestasi telah dirintis di klinik kami sejak tahun 1985. Skrining diabetes gestasi telah dilakukan juga di beberapa sentra pendidikan lainnya yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Padang. Dengan mempergunakan cara skrining dari O’Sullivan dan Mahan angka kekerapan tidak banyak berbeda (Tabel 2). Syahbuddin  satu-satunya yang mempergunakan kriteria diagnosis dari WHO, dimana dari 109 wanita hamil tidak satupun terdiagnosis sebagai diabetes gestasi, sedang toleransi glukosa terganggu ditemukan sebanyak 5,5%.














Rujukan Kepustakaan


1.   National Diabetes Data Group: Classification and diagnosis
     of diabetes  mellitus and other categoris of glucose
     intolerance. Diabetes 28: 1039-1057,  1979.
2.   WHO expert committee on diabetes on diabetes mellitus.
     Second report. Technical report series 1980,646: 7
3.   Oats JM, Beischer NA: Gestational diabetes. Aust NZJ Obstet
     Gynaec 26: 2-9, 1986.
4.   Dietrich ML, Dolnicec TF, Rayburn W: Gestational diabetes
     screening in  private, Midwestern American population. Am J
     Obstet Gynecol 156: 1403-1408,  1987.
5.   Adam JMF: Survei diabetes melitus pada wanita hamil.
     Penelitian Universitas   Hasanuddin, Makassar, 1985
6.   Gyaneshwar R: The prevalence of gestational diabetes in 
     Fiji. 13th  International diabetes federation cingress. 
     Sattelite symposium in diabetes  and pregnancy, Auckland New
     Zealand 1989, Abstract p 42.
7.   Weiss PAM: Gestational diabetes: A survey and the Graz
     approach to diagnosis  and therapy. In Weiss PAM, CoustanDR
     (eds)”Gestational Diabetes”, Springer- Verlag Wien, 1988,
     1-58.
8.   Abadi A, Padang F: Diabetes melitus gestasi di RSUD dr.
     Soetomo Surabaya.  Majalah Obstetri dan Ginekologi 2:
     161-178, 1992.
9.   Soewoto S, Asdie AH, Wiyono P: Diabetes gestatsional pada 
     tiga rumah sakit. Kumpulan Naskah KOPAPDI VIII, Yogyakarta,
     1990, 584-589.
10.  Syahbuddin S: Intoleransi glukosa pada wanita hamil di
     Kotamadya Padang. Acta Medica Indonesia, XX 1,457-463, 1993.



        Bersamaan dengan dipublikasikannya artikel ini,  kami ingin menyampaikan permohonan maaf atas ketidak nyamanan para pembaca yang tidak dapat mengakses beberapa  ebook melalui  link download ebook yang tersedia di Blog kami hal itu disebabkan oleh karena link yang ada belum kami perbaharui atau kami ganti. Untuk itu dalam 2 hari kedepan kami akan memperbaiki beberapa link download yang ada, sehingga ebook yang tersedia dapat di download seperti sedia kala. Demikianlah pemberitahuan dari kami, atas perhatiannya kami ucapkan banyak terimakasih.

Masalah kesehatan pada Ibu hamil dengan Diabetes Gestasi

0 komentar
Oleh : Prof. Dr. John MF Adam, SpPD-KE
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo/FKUNHAS, Makassar.



       Artikel ini membahas mengenai berbagai resiko klinis yang dapat  saja terjadi pada ibu hamil dengan diabetes gestasi, bila tanpa disertai pengelolaan diabetes yang baik. Artikel juga membahas mengenai berbagai temuan  penelitian yang berkaitan dengan masalah resiko diabetes gestasi.

      Pada umumnya penderita diabetes gestasi hanya ditemukan gangguan toleransi glukosa yang ringan, sehingga terhadap ibu sendiri tidaklah memberikan keluhan yang mengharuskan ia mengunjungi dokter. Dengan demikian diagnosis diabetes gestasi tidaklah semudah seperti pada diabetes melitus biasa. Oleh karena itu sering timbul pertanyaan kenapa perlu diagnosis.

      Sedikitnya ada tiga alasan kenapa skrining diabetes gestasi pada wanita hamil perlu dilakukan yaitu a) angka kesakitan pada ibu cukup sering, b) tanpa pengelolaan diabetes yang baik angka kesakitan dan kematian perinatal meningkat dan c) wanita diabetes gestasi ternyata merupakan kelompok resiko tinggi untuk menjadi diabetes melitus dikemudian hari.

Kesakitan ibu

        Walaupun hanya merupakan gangguan metabolisme karbohidrat yang ringan, dalam kenyataannya dapat juga terjadi penyulit pada ibu walaupun dalam bentuk yang ringan. Kesakitan pada ibu diabetes gestasi dapat berupa preeklamsi, polihidramnion, infeksi saluran kemih dan trauma akibat persalinan. Dari sebanyak 1150 wanita diabetes gestasi yang dilaporkan oleh Oats di Mercy Maternity Hospital Melbourne ditemukan kekerapan preeklamsi sebesar 22,2% dan polihidramnion 2,6%, angka ini merupakan dua sampai tiga kali lebih banyak diabandingkan dengan wanita hamil normal di klinik mereka. Goldman melaporkan angka preeklamsi dan polihidramnion masing-masing sebesar 23,4% dan 5,8%. Trauma persalinan pada ibu khususnya seksio sessaria merupakan penyulit yang paling sering ditemukan. Beberapa peneliti melaporkan angka seksio sessaria berkisar antara 20-36% . Dari sebanyak 40 penderita diabetes gestasi yang dipantau di klinik kami selama tiga setengah tahun, angka seksio sessaria ditemukan sebesar 17,5%.

Kematian perinatal

        Telah lama diketahui bahwa tanpa pengobatannya yang baik, wanita dengan diabetes gestasi akan disertai dengan meningkatnya angka kematian. Dengan semakin majunya penatalaksanaan diabetes melitus, angka kematianpun menurun. O’Sullivan pada tahun 1973 melaporkan angka kematian sebesar 6,4%, angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka kematian perinatal pada populasi wanita hamil normal yang hanya sebesar 1,5%. Sejak tahun delapan puluhan angka kematian perinatal agak menurun. Oats  melaporkan angka kematian perinatal pada diabetes gestasi sebesar 3,2%. Hasil yang sama dilaporkan oleh Philipson yaitu sebesar 3,2% dari sejumlah 158 penderita yang diteleiti.

Kesakitan perinatal

       Jenis kesakitan perinatal yang dapat dijumpai pada diabetes gestasi sama dengan pada diabetes melitus hamil pragestasi. Pada tahun 1977 Pederson memperkenalkan apa yang disebut “hipotesa Pederson” yang kemudian diperluas oleh Freinkel pada tahun 1980 seperti yang terlihat pada gambar 1. Menurut teori ini, hiperglikemi pada ibu akan menyebabkan hiperglikemi pada janin yang akan merangsang pankreas janin menghasilkan insulin lebih banyak. Penelitian kemudian membuktikan bahwa hiperinsulinemi janin tidak hanya disebabkan oleh hiperglikemi pada ibu, tetapi juga dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar benda keton, lipid serta asam amino dalam plasma ibu hamil. Adanya huperinsulinemi pada janin akan merangsang pertumbuhan jaringan sehingga terjadilah makrosomia. Selain itu hiperglikemi pada janin dapat juga mengakibatkan hipoglikemi pada janin serta dapat juga mengakibatkan hipoglikemi pasca persalinan dan sindroma distress pernafasan. Baik glukosa, asam amino, benda keton dan lipid ternyata bersifat teratogenik dan dapat mengakibatkan malformasi kongenital.
  
















Gambar 1. Relationship of maternal plasma fuel disturbances in diabetic pregnancies to fetal hyperinsulinemia and perinatal complications

Malformasi kongenital

     Telah dibuktikan bahwa normoglikemi prakonsepsi sampai tiga bulan pertama sesudah konsepsi memegang peranan penting terjadinya malformasi kongenital pada penderita diabetes hamil, baik IDDM maupun NIDDM hamil pragestasi. Pada diabetes melitus gestasi, gangguan toleransi glukosa baru terjadi pada usia kehamilan sesudah tiga bulan, dan pada umumnya setelah minggu ke duapuluempat. Oleh karena itu belum dapat diterangkan kenapa dapat terjadi malformasi kongenital pada diabetes melitus gestasi. Beberapa peneliti telah melaporkan angka malformasi kongenital yang lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan wanita hamil normal. Dari 86 bayi yang dilahirkan oleh ibu diabetes melitus gestasi, Farrel menemukan malformasi kongenital berat sebesar 4,7% sedang malformasi ringan 15%.

Makrosomia

      Dengan penatalaksaan yang baik sekalipun, sampai saat ini makrosomia masih merupakan masalah utama pada diabetes gestasi. Di klinik yang maju dengan skrining yang dilakukan dini serta berulang, dan penatalaksaan terpadu yang maksimal, selain malformasi kongenital, makrosomia merupakan masalah utama. Seperti telah disebut di atas, makrosomia terjadi oleh karena hiperinsulinemia pada janin yang merangsang pertumbuhan sel tubuh. Adalah suatu kenyataan bahwa makrosomia lebih sering ditemukan pada ibu diabetes gestasi yang berusia lebih dari 35 tahun, multipara, kegemukan dan pertambahan berat badan yang menyolok selama kehamilan.
      Makrosomia dilaporkan berkisar antara 7,0% sampai 33,3%, angka-angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan angka makrosomia pada wanita hamil normal yang hanya 3,7% . Terdapat data yang kontroversial tentang persentasi makrosomia antara mereka yang mendapat insulin dan diet saja. Kitzmiller melaporkan angka makrosomia sebesar 23,7% pada kelompok yang mendapat insulin dan hanya 11,5% pada kelompok yang mendapat pengobatan diet saja. Sebaliknya Coustan dan Imarah  telah membuktikan bahwa dengan pemberian insulin secara profilaktik pada diabetes gestasi ternyata angka makrosomia dapat diturunkan. Pada mereka yang mendapat pengobatan profilaktik insulin, jumlah makrosomia hanya 7,0% sedang yang mendapat diet saja jauh lebih tinggi yaitu 18,5%. Dari sebanyak 42 bayi yang diteliti oleh penulis ( John MF Adam ) selama tiga setengah tahun, jumlah makrosomia sebesar 14 bayi atau 33,4%.

Hipoglikemi

     Pada kadar glukosa darah janin yang nromal, sel pankreas janin tidak banyak menghasilkan insulin. Hiperglikemi pada ibu menyebabkan meningginya kadar glukosa darah janin. Keadaan hiperglikemi janin ini akan terus merangsang sel pankreas janin sehingga akan terjadi hiperplasia dan hipertofi dari sel beta. Pada waktu persalinan, kadar insulin plasma janin masih tetap tinggi sedang kadar glukosa akan menurun oleh sumber glukosa ibu terhenti. Dengan demikian akan terjadi hipoglikemi.

    Disebut hipoglikemi pada bayi yang baru dilahirkan apabila kadar glukosa darah kurang dari 30mg%. Hipoglikemi dapat terjadi selama 48 jam pertama setelah persalinan, oleh karena itu pemantauan kadar glukosa darah bayi sebaiknya dilakukan lebih sering khususnya pada 24 jam pertama. Sebagian besar dari bayi dengan hipoglikemi bersifat asimptomatik. Apabila disetai gejala, maka gejala yang paling sering ialah iritable, letargi dan hipotoni, gangguan pernapasan, sianosis dan kejang-kejang. Insidens hipoglikemi dilaporkan berkisar antara 11,0-18,5% .

Hipokalsemia

   Sama dengan keadaan hipoglikemi, kadar kalsium darah bayi mulai menurun sejak dijepitnya tali pusar. Disebut hipokalsemia apabila kadar kalsium darah kurang dari 7,0 mg/dl. Komplikasi ini tidak terlalu banyak pada diabetes melitus gestasi. Farrel  dan Landon  melaporkan angka 4,75% dan 19,0%. Angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan angka hipokalsemia pada bayi dari ibu IDDM yang dapat mencapai 30,0% sampai 50,0%

Polisitemia

        Komplikasi ini tidak terlalu sering pada diabetes melitus gestasi. Lavin  dan Farrel  melaporkan angka 2,0% dan 3,4%. Kebanyakan bayi dengan polisitemia bersifat asimptomatik. Pada keadaan yang berat dapat terjadi sianosis, kejang-kejang, ikterus dan payah jantung.


Sindroma distres pernafasan

   Sindroma distres pernafasan disebabkan oleh pertumbuhan paru-paru yang belum sempurna. Widness melaporkan insidens sebesar 6,5%.

Rujukan kepustakaan

1.  Oats JM, Beischer NA: Gestational diabetes. Aust NZ Obstet.
    Gynaec. 26:2-9, 1986.
2.  Goldman Prof. dr. John M.F. Adam, Dicker D,Feldber D et

    al:Preconceptional diabetes counseling. In Gestational
    diabetes,Weis PAM, Coustan DR (eds). Springer-Verlag, Wien,
    1988, pp 129-133.
3.  Lavin JP: Screening oh high-risk and general populations

    for gestational diabetes. Diabetes 1985, 34 (Suppl 2): 24-27.
4.  Philipson EH, Kalhan SC, Rosen MG et al:Gestational

    diabetes mellitus. Is futher improvement? Diabetes 34 (Supp
    2): 55-60,    1984.
5.  Kitzmiller JL, Hoedt LA, Guderson EP et al: Macrosomia and 

    birth trauma in infats of diet treated gestational diabetes
    mellitus. In Gestational Diabetes, Weis PAM, Coustan DR
    (eds), Springer-Verlag, Woein, 1988, 160-166.
6.  Adam JMF: Diabetes melitus gestasi. Insidens, karakteristik

    ibu dan hasil perinatal. Penelitian Universitas Hasanuddin,
    1989.
7.  O’Sullivan JB, Mahan CM, Charles D, Dandron RV: Screening

    criteria for high risk gestational diabetic patients. Am J
    Obstet Gynecol 116: 895-900, 1973.
8.  Kalkhoff RN: Therapeutic results of insulin therapy in

    gestational diabetes mellitus. Diabetes 34 (Suppl 2): 97-100,
    1985.
9.  Fuhrman K: Diabetic control and autcome in the pregnant

    patient. In Diabetes and management in the ‘80s. The role 
    of  home blood glucose monitoring and new insulin delivery
    systems. Peterson CM (ed), Praeger Pub, 1982, pp 66-81.
    And  results as a follow-up.
10. Farrel J, Forrest JM, Storey JNB et al: Gestational

    diabetes infant malformations and subsequent maternal
    glucose tolerance. Aust NZ J Obstet Gynaec 26: 11-16, 1986.
11. Watkins PJ: Congenital malformation and blood glucose control

    in diabetic pregnancy. Br Med J 284: 1357, 1982.
12. Widness Prof. dr. John M.F. Adam, Conwet RM, Coustan DR et

    al: Neonatal morbidities in infants of mothers with glucose 
    intolerance in pregnancy. Diabetes 34 (Suppl 2): 61-65,1985.
13. Weiss PAM: Gestational diabetes: A survey and the Graz
    approach to diagnosis and therapy. In Weiss PAM, Coustan 
    DR (eds), Springer-Verlag Wien, 1988, pp 1-58.
14. Coustan DR, Imarah J: Prophylactic insulin treatment of 

    gestational diabetes mellitus reduces the incidance of 
    macrosomia, operative delivery ang birth trauma. Am J
    Obstet  Gynecol 150: 836-842, 1984.
15. Gyves MT, Schuman PK, Merkatz IP: Results of individualized 

    intervention in gestational diabetes. Diabetes Care 3: 495-
    496, 1980.
16. Landon MB, Cembrowski GS, Gabbe SG: Antepartum fetal

    surveillance in gestational diabetes mellitus. Diabetes
    (Suppl 2): 50-54, 1985.
17. Cloherty JP, Epstein MF: Neonatal management. In Diabetes

    complikating pregnancy. The Joslin Clinic Method, Hare JW
    (ed), Alan R Liss Inc, New York, 1989 pp 135-147.
18. Lavin JP, Lovelace DR, Mondovnik M et al: Clinical

    experience with one hundred seven diabetic pregnancies. Am J 
    Obstet Gynecol 147: 742-751, 1983.


Artikel ini dipublikasikan untuk tujuan pendidikan, semoga dapat menjadi referensi bagi kita semua. Amin

Kriteria diagnosis diabetes melitus (kriteria American Diabetes Association (ADA) vs kriteria WHO 1985 dan 1999)

0 komentar
Oleh :Prof. dr. John MF Adam, SpPD-KE
      dr. Agus P. Sambo, SpPD
      Bagian Ilmu Penyakit Dalam
      RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo/FK UNHAS
      Makassar, Indonesia.


     Kalimat ADA versus WHO di atas memang telah menjadi tema dari artikel/naskah ini sewaktu dibacakan pada symposium diabetes melitus di Makassar, jadi tidak salah jika  kalimat tersebut ditempatkan pada judul di postingan ini. Artikel ini membahas tentang  Kriteria  diagnosis diabetes melitus oleh ADA 1997 dan kriteria diabetes oleh  WHO thn 1985 dan 1999. Artikel juga membahas tentang beberapa penelitian yang telah dilakukan  dalam membandingkan kedua kriteria tersebut.Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikelnya di bawah.

PEDAHULUAN

   Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh adanya hiperglikemi yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya . Keadaan hiperglikemi yang kronik ini akan menyebabkan timbulmya komplikasi kronik diberbagai organ tubuh terutama di mata, ginjal, saraf , jantung dan pembuluh darah.

   Hasil penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) tahun 1996 di Amerika Serikat  dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) di Inggris  membuktikan bahwa dengan kontrol glikemik yang ketat dapat mencegah insiden dan memperlambat timbulnya komplikasi mikroangiopati. Oleh karena itu yang penting adalah menentukan seorang menderita diabetes atau tidak, dan pada kadar glukosa plasma berapa yang mempermudah timbulnya komplikasi kronik. Batasan inilah yang sangat sulit terutama masa sebelum tahun 1980 karena kriteria yang ada pada saat itu masih sangat beragam dan belum ada kriteria baku yang dapat digunakan secara umum.

KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES YANG LAMA  

   Pada masa dahulu diabetes melitus hanya di diagnosis dari gejala dan tandanya saja yaitu adanya air seni yang menarik semut, air kencing terasa manis, oleh Matthew Dobson pada tahun 1776 menemukan tepung seperti gula yang tertinggal setelah urin penderita diabetes melitus menguap dan menggambarkan serum penderita diabetes terasa manis. Setelah beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1851 oleh Bouchardat menemukan adanya glukosa dalam urin yang berasal dari ginjal dan akhirnya dengan metode yang kasar mengukur adanya hiperglikemia sebagai faktor yang mendasarinya.

   Setelah penemuan tersebut diatas dilakukan penelitian untuk memperbaiki metode pemeriksaan glukosa darah yang lebih baik dan sejak saat itu banyak orang yang didiagnosis menderita diabetes melitus namun masih sangat membingungkan oleh karena begitu banyak kriteria yang digunakan.Sampai tahun 1970-an berbagai metode dan kriteria yang dipakai pada penelitian dalam satu populasi mengakibatkan perbedaan prevalensi diabetes yang sangat besar antara peneliti yang satu dengan yang lain yaitu dapat mencapai 10 kali lipat oleh karena itu para ahli mengusahakan adanya suatu kriteria diagnosis  diabetes.Sampai pada tahun 1979 kriteria yang digunakan sangat bervariasi sebagai contoh klinik Joslin di Amerika Serikat dan klinik di Inggris mempunyai kriteria yang berbedah  lihat tabel 1 



    
   
   Di Indonesia sampai tahun 1980 tidak ada keseragaman baik kreteria diagnosis maupun cara melakukan tes toleransi glukosa oral sehingga masing masing pusat pendidikan mempunyai kriteria dan cara diagnosis diabetes sendiri sendiri, misalnya Surabaya  dan Semarang  yang dapat dilihat pada tabel 2

   

   Klasifikasi dan diagnosis diabetes yang digunakan secara umum sampai pada saat itu adalah yang dibuat dan dipublikasikan oleh National Diabetes Data Group (NDDG) pada tahun 1979.
  Setelah tahun 1985 WHO merekomendasikan suatu kriteria diagnostik diabetes melitus yang dapat digunakan secara umum. Kriteria WHO itu dapat dilihat pada tabel 3.


  

  Pada tabel tersebut diatas dapat dilihat adanya diabetes melitus dan adanya suatu kelompok yang tidak masuk kedalam kategori diabetes atau normal tapi suatu kelompok yang dikategorikan sebagai Impaired Glucose Tolerance (IGT). Kelompok ini sebagian akan menjadi diabetes. Menurut beberapa peneliti, kelompok ini 1,5 - 4 % dintaranya akan menjadi diabetes setiap tahun, sedang pada Hoorn Study pada folow up selama 2 tahun menemukan 28,5 % menjadi diabetes , sebagian tetap sebagai IGT atau menjadi normal kembali. 

KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES YANG BARU

    Sampai tahun 1997 kriteria diabetes yang direkomendasikan WHO masih tetap digunakan namun setelah American Diabetes Association (ADA) membuat suatu kriteria  baru yang dapat dilihat pada tabel 4.


   

   Pada kriteria ADA yang diperlukan hanyalah kadar glukosa puasa yang lebih dari 126 mg/dl (7,0 mmol/l) namun muncul kelompok baru yaitu Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Glukosa Plasma Puasa Terganggu (GPPT) yang oleh ADA dikelompokkan dalam kelompok yang tidak normal namun dianggap mempunyai resiko untuk menjadi diabetes dikemudian hari, dan tidak melakukan  tes toleransi glukosa oral dengan alasan  tidak praktis.

   Setelah ada kriteria ADA laporan dari Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus membuat modifikasi kriteria yang pernah diusulkan oleh National Diabetes Data Group (NDDG) atau WHO sebagai berikut :
Seseorang dikatakan menderita diabetes apabila ditemukan:
1. Terdapat gejala DM yang khas (polipagi, polidipsi, poliuri dan
   penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
   penyebabnya) dengan kadar glukosa darah sewaktu > atau = 11,1
   mmol/l ( > atau = 200 mg/dl) atau,
2. Glukosa darah puasa > atau = 126 mg/dl ( > atau = 7.0 
   mmol/l ), Puasa minimal 8 jam atau,
3. Kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa 75 gram > 
   atau = 11,1 mmol/l ( > atau = 200 mg/dl)

   Pada kriteria ini nampaknya masih diperlukan Tes Toleransi Glukosa Oral oleh karena diperlukan oleh karena  seperempat dari mereka dengan kadar glukosa plasma 2 jam setelah OGTT lebih dari 200mg/dl mempunyai glukosa plasma puasa lebih dari 140mg/dl yang tidak diketahui menderita diabetes sebelumnya.

  Pada tahun 1999 WHO kemudian membuat kriteria diagnosis diabetes melitus dengan menurunkan kadar glukosa puasa dari 140 mg/dl menjadi 126 mg/dl sesuai dengan yang diusulkan oleh ADA namun masih melakukan tes toleransi glukosa oral dan tetap dipertahankan. Kriteria diagnostik diabetes yang diajukan oleh WHO dapat dilihat pada tabel 5.


  

  Setelah publikasi tentang  kriteria diagnostik baru dari diabetes, baik oleh American Diabetes Association (ADA) maupun oleh WHO maka beberapa peneliti melakukan penelitian yang pada  dasarnya untuk  membandingkan kedua kriteria itu diantaranya:
1. Ko GTC dkk, melakukan survei pada satu populasi China di Hongkong dengan mengunakan kriteria ADA 1997 membandingkannya dengan kriteria WHO tahun 1985 dan mendapatkan prevalensi diabetes dengan ADA hanya 1,41% sedang dengan WHO 2,83%, ada 29 orang atau 1,95% menurut ADA masih normal tapi dengan WHO sudah menderita diabetes, 8 orang atau 0,53% masih normal menurut WHO tapi sudah menderita diabetes oleh ADA, dari penelitian ini ada perbedaan prevalensi diabetes sebesar 1,42%. Kemudian menyimpulkan bahwa penggunaan FPG untuk diagnostik diabetes masih perlu dites ulang kembali dan mengidentifikasi penderita yang mempunyai kadar hiperglikemi yang lebih  tinggi, walaupun FPG sudah diturunkan untuk menjaring lebih banyak penderita diabetes namun dengan menghilangkan OGTT akan mengurangi penderita diabetes yang terjaring.

2. Okubo M dkk, melakukan penelitian pada populasi keturunan Jepang – Amerika yang tinggal di Hawai dan Los Angeles. Dari populasi sebanyak 1235, ada 114 orang diketahui sudah menderita diabetes dengan kriteria WHO, kemudian diistirahatkan dan diberi 75 gr glukosa. Dengan menggunakan kriteria American Diabetes Association (ADA) kemungkinan terdiagnosis diabetes hanya 40%. Dari penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa mungkin lebih baik menggunakan kriteria ADA dengan mengkombinasikannya dengan tes toleransi glukosa.


3. Gabir MM dkk, melakukan penelitian pada 5.023 Indian Pima dewasa dengan membandingkan kriteria ADA 1997 dan kriteria WHO tahun 1985 dan 1999. Dari penelitian ini mereka mendapatkan frekuensi diabetes 12,5% dengan kriteria ADA, 14,6% dengan kriteria WHO 1985 dan 15,3% dengan kriteria WHO 1999. IGT lebih tinggi dari IFG masing masing 15% dan 5% tapi insiden diabetes setelah 5 tahun lebih tinggi pada IFG dari pada IGT masing masing 37% dan 24%. Dari penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa prevalensi dan insiden diabetes lebih rendah pada kriteria ADA dari pada WHO 1985 dan 1999. Tapi perbedaan yang subtantif adalah pada IFG dan IGT walaupun IFG lebih rendah namun mempunyai resiko tinggi menjadi diabetes dari pada IGT.

4.Gabir MM dkk, mengevaluasi kriteria ADA 1977 kriteria WHO 1999 untuk diabetes dan hiperglikemia kemudian menilai kemungkinan terjadinya komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler dan mortalitas. Mereka menilai prevalensi retinopati dan  nefropati sebagai baseline dan sesudah 10 tahun serta mortilitas ratenya. Hasil penelitian ini menunjukkan retinopati 4,7% pada IFG dan 20,9% pada diabetes dengan kriteria ADA sedang 1,6% pada IGT dan 19,7% pada diabetes dengan kriteria WHO 1985 serta 1,2% pada IGT dan 19,2% pada diabetes dengan kriteria WHO 1999. Mortalitas rate dari kardiovaskuler berhubungan penyakit ginjal lebih tinggi pada individu dengan FPG > atau = 7 mmol/l atau 2 jam plasma glukosa > atau = 11,1 mmol/l dari pada individu dengan FPG dan 2 jam plasma glukosa yang normal. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa glukosa plasma puasa dan glukosa plasma 2 jam yang tinggi berhubungan langsung dengan komplikasi retinopati dan nefropati. Glukosa plasma puasa dapat  mengidentifikasi penderita berada pada resiko tinggi akan terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan mortalitas serta dapat meramalkan terjadinya diabetes terutama bila tes toleransi glukosa tidak praktis.

5. Ursia dkk,  di Makassar meneliti 420 subyek resiko tinggi diabetes dan menemukkan prevalensi diabetes 15,5% dengan kriteria WHO 1985 sedang dengan kriteria ADA 1997 prevalensi diabetes hanya 11,7%.

6. Adam JMF, dalam proposal penelitian epidemiologik kriteria diagnosis diabetes di Indonesia merangkum hasil beberapa penelitian yang membandingkan kriteria American Diabetes Association (ADA) dan kriteria WHO tahun 1985 yang dapat dilihat  pada tabel 6.




    Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa hampir semua peneliti mendapatkan prevalensi diabetes melitus lebih tinggi dengan menggunakan kreteria WHO.

RESIKO TINGGI UNTUK TERJADINYA DM 

   Diabetes melitus tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis secara dini karena tidak memberikan gejala sehingga biasanya diabetes melitus baru terdiagnosis setelah berjalan beberapa tahun dan kadang sudah terjadi komplikasi mikrovaskuler atau makrovaskuler. Bukti epedemiologi memperlihatkan bahwa komplikasi ini sudah terjadi  biasanya paling cepat setelah 7 tahun menderita diabetes. Di Amerika Serikat ada sebanyak kurang lebih 50% penderita diabetes dalam populasi tidak terdiagnosis.
  skrining pada populasi yang mempunyai resiko tinggi juga diperlukan, adapun Resiko tinggi untuk terjadinya diabetes adalah 

1. Usia lebih dari 45 tahun.
2. Obes.
3. Riwayat diabetes dalam keluarga.
4. Pernah mengalami TGT atau GDPT.
5. Menderita hipertensi yaitu tekanan darah > 140/90 mmHg

6. Ada riwayat diabetes melitus gestasi atau pernah melahirkan
   bayi > 4kg 

KESIMPULAN

   Sampai sekarang ini kriteria  diagnosis diabetes melitus ada dua yaitu:
1. Kriteria yang diajukan oleh America Dibetes Association (ADA)
   tahun 1997 dan digunakan terutama di AmerIka  Serikat.
2. Kriteria yang diajukan oleh World Health Organization tahun
   1999 dan digunakan di hampir semua negara.

   Dari hasil hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menilai kedua kriteria tersebut nampaknya kriteria yang diajukan oleh WHO lebih baik dalam menjaring penderita diabetes melitus namun ada peneliti yang mendapatkan kriteria American Diabetes Association (ADA) lebih baik dalam menduga timbulnya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler serta mortalitas rate. Tes Toleransi Glukosa Oral dapat dilakukan untuk diagnostik dan menjaring populasi diabetes melitus tanpa gejala.

Daftar Pustaka

1.  The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of 
    diabetes mellitus. Report of the expert committee on  the 
    diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes
    Care 1999; 22: S5 – S19.
2.  Diabetes Control and Complications Trial Research Group; The
    effect of intensive treatment of diabetes on development and
    progression of long – term complication in insulin-dependent
    diabetes mellitus. N Engl J Med. 1998;329:977-986.
3.  UK Prospective Diabetes study Group: Intensive blood-glucose
    control with sulfonylureas or insulin compared with
    conventional treatment and risk of complications with type 2
    diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998;352:854-856.
4.  Pickup JC, Williams G. The diagnosis and classification of 
    diabetes mellitus and impaired glucose tolerance. Dalam:
    Pickup JC, Williams G. eds. Textbook of Diabetes. Hongkong;
    Blackwell Science, Second edition, 1997: 21 - 30.
5.  National Diabetes Data Group: Classification and Diagnosis
    Diabetes mellitus and other Categories of Glucose
    Intolerance. Diabetes 1979;28:1039-1057.
6.  Adimasta J, Tjokroprawiro A, Soedjono S, Hendromartono. 
    Diabetes Melitus di Puskesmas Kota Madya Surabaya. Naskah 
    Lengkap Konggres Nasional Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI V)
    Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran  Universitas 
    Diponegoro – RS. Dr. Kariadi, Semarang. 105-114:1981.
7.  Soetardjo, Moeljanto R. Diabetes Melitus di Kelurahan 
    Pekajangan – Pekalongan. Naskah Lengkap Kongres Nasional 
    Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI V Bagian Ilmu Penyakit 
    Dalam  Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro – RS Dr.
    Kariadi, Semarang. 99-105:1981.
8.  Lindahl B,Weinehall L, Asplund K, Hallmans G. Screening for 
    Impaired Glucose Tolerance. Results from a population-based 
    study in 21,057 individuals.Diabetes Care 1999; 12: 
    1988 –  1992.
9.  De Vegt F, Dekker JM, Stehouwer CDA, Nijpels G, Bouter LM,
    Heine RJ. The 1997 American Diabetes Association  Criteria 
    Versus the 1985 World Health Organization Criteria for the
    Diagnosis of Abnormal Glucose Tolerance. Poor agreement in
    the Hoorn Study. Diabetes Care 1998;21: 1686 – 1690. 
10. Adam JMF. Penelitian Epedemiologik Kriteria Diagnosis
    Diabetes Di Indonesia (Proposal). Pusat Diabetes dan Lipid
    (PUSDILIP) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo / Sub-Bagian 
    Endokrin-Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS,
    Makassar 2000.
11. Ko GTC, Chan JCN, Woo J, Cockran CS. Use of the 1997 
    American Diabetes Association Diagnostic Criteria for
    Diabetes in a Hong Kong Chinese Population. Diabetes Care
    1998;21:2094 – 2097.
12. Okubo M, Watanabe H, Fujikawa R, Kawamura T, Egusa G, 
    Yamakido M. Reduced prevalence of diabetes according to 1997 
    American Diabetes Association criteria. Diabetologia 
    1999;42:1168- 1170.
13. Gabir MM, Hanson RL, Dabelea D, Imperatore G, Roumain J, 
    Bennett PH, Knowler WC. The 1997 American Diabetes 
    Association and 1999 World Health Organization Criteria for 
    Hyperglycemia in the Diagnosis and Prediction of  Diabetes.
    Diabetes Care 2000; 23: 1108 – 1112.
14. Gabir MM, Hanson RL, Dabelea D, Imperatore G, Roumain J,
    Bennett PH, Knowler WC. Plasma Glucose and Prediction of 
    Microvascular Disease and Mortality. Evaluation of 1997
    American Association and 1999 World Health Organization
    Criteria for diagnosis of diabetes. Diabetes Care 2000;23:
    1113 – 1118.
15. Ursia B, Adam JMF, Sanusi H, Sambo AP. Perbandingan kriteria
    diagnosis diabetes melitus antara WHO 1985, ADA 1997, dan 
    WHO1999. (Abstrak KOPAPDI, Juli 2000).
16. Adam JMF. Diabetes Melitus Pada Kelompok Resiko Tinggi Dengan
    Menggunakan Kriteria ADA 1997 dan WHO 1999. (Proposal 
    Penelitian).

   Artikel/naskah telah dibacakan pada symposium diabetes melitus dengan tema “Diabetes and Cardiovascular Disease”20 – 21 Oktober 2001 di Makassar. Acara diadakan oleh PERKENI bekerja sama dengan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNHAS

   Bersamaan dengan dipublikasikan artikel ini, saya juga ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa terdapat sejumlah artikel kedokteran lainnya yang telah dipublikasikan di blog ini, artikel tersebut dapat di akses dengan mengklik pada blog archive ( sidebar pada sisi kanan naskah ),klik berdasarkan tahun dan bulannya.

        Saya mohon maaf atas sejumlah artikel yang tidak begitu rapi terlihat khususnya artikel-artikel lama, dimana terdapat banyak tempat kosong antar paragraph dan ketidakteraturan lainnya. Artikel-artikel tersebut saya tulis sewaktu saya baru belajar menulis di Blog. Oleh karenanya dalam beberapa hari kedepan saya akan menatanya kembali, merapikan dan mengadakan sedikit perubahan pada artikel namun bukan pada judul artikel. Perubahan yang dilakukan tidak bermaksud untuk melakukan tindakan negatif SEO, menembak kata kunci atau bahkan mensiasati search engine. Perubahan hanya bertujuan untuk merapikan dan menata kembali artikel yang telah lama. Diakhir tulisan ini saya ingin  ucapkan banyak terima kasih kepada dokter-dokter spesialis penyakit dalam, khususnya buat Prof. dr. John MF Adam, SpPD-KE, dimana banyak sekali karya-karya beliau baik naskah symposium maupun penelitian yang dipublikasi di Blog ini. sehingga dapat dibaca secara luas oleh para pembaca yang tidak hanya datang dari Indonesia tetapi juga dari berbagai negara.

 

Penyakit vaskuler perifer pada diabetes melitus dan penggunaan naftidrofuril oxalate pada PVP

0 komentar
Oleh : Prof. dr Harsinen Sanusi, SpPD-KE
Sub Bagian Endokrin-Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
PUSDILIP RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar



   Artikel ini membahas mengenai hubungan antara diabetes melitus (DM) dan penyakit vaskular perifer(PVP),serta menguraikan secara ringkas manfaat naftidrofuril oxalate dalam pengobatan Penyakit vaskuler perifer.

PENDAHULUAN

     Hubungan antara diabetes melitus (DM) dan penyakit vaskular perifer(PVP) telah diketahui dengan pasti. Penelitian Brandman dan Redisch pada thn 1953  melaporkan 50 % pasien DM terbukti menderita penyakit vaskular perifer setelah 10-15 tahun mengidap diabetes, selanjutnya dilaporkan oleh Kingsbury (1966) adanya hubungan penyakit vaskular perifer  dengan gangguan toleransi glukosa yang dibuktikan dengan pemeriksaan rontgenologik .  Diantara pasien-pasien PVP yang terpaksa dilakukan tindakan amputasi  mempunyai risiko 3-4 kali pada pasien DM dibanding dengan non diabetes . Tercatat pula 2/3 pasien non traumatik yang diamputatasi disebabkan oleh DM . Komplikasi diabetes melitus (DM) dapat berupa komplikasi  mikroangiopati diabetik  (nefropati dan retinopati diabetik ), dapat pula mengenai pembuluh darah besar yang mengenai tiga tempat utama  yaitu sistim kardiovaskuler arteri koroner, arteri di otak dan arteri di perifer .  Pada pasien DM problema eksteremitas bawah  sering dijumpai dan mengenai satu dari setiap 4 pasien DM. Hal ini akan  memberikan dampak sosial pada pasien berupa hilangnya kesempatan kerja, berkurangnya  upah kerja dan tidak jarang pemutusan kerja bagi mereka yang mengalami amputasi .

     Penyebab meningkatnya risiko penyakit vaskular perifer(PVP) pada  DM multifaktorial dan akibat tidak adanya pengertian dalam diagnosis dan pengobatannya mengakibatkan  amputasi yang seharusnya tidak dikerjakan terpaksa dilakukan . Berbagai  kepekaan pembuluh darah besar pada DM  didasarkan atas genetik  dan  berbagai gangguan metabolik  pada DM seperti  kontrol glukosa darah yang jelek dan banyak faktor risiko lainnya seperti dislipidemia, glikosilasi dan agregasi trombosit . Faktor lainnya yang dapat merupakan faktor predisposisi adalah hipertensi, obesitas, perokok, diet yang tidak terkontrol dan aktifitas fisik yang berkurang.

     Penyakit vaskular perifer merupakan problema utama pasien  DM yang  karena  morbiditas nya yang pada tahap lanjut dapat berupa luka yang lama sembuh, gangguan trofik pada jari-jari kaki, rasa nyeri waktu istirahat atau berjalan, sembab kaki dan tungkai yang pada akhirnya mengakibatkan invaliditas .

   Pendekatan dalam pengobatan penyakit vaskular perifer(PVP) akibat DM didasarkan pada pengobatan DMnya, ditambah dengan pengobatan ajuvan dengan pendekatan hemoreologik, obat vasoaktif dan pada kasus-kasus tertentu dengan pengobatan bedah.

PATOFISIOLOGI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG ERAT KAITANNYA DENGAN KEJADIAN PVP

     Patofisiologi dan proses yang mendasari timbulnya penyakit vaskular perifer(PVP) pada  DM adalah  sangat kompleks dan multifaktorial, dan terdapatnya triad yang merupakan faktor predisposisi PVP pada eksteremitas bawah yaitu iskemia, neuropati perifer, dan gangguan respons terhadap infeksi.

  Terjadinya PVP  sangat penting diketahui dan dimengerti  dimana  yang menonjol adalah oklusi dari vaskuler termasuk mikrosirkulasi dan individu DM mempunyai kecenderungan mengalami aterosklerosis.

      Pada pasien DM aterosklerosis lebih dini dan lebih ekstensif dibanding populasi umum . Penyebabnya belum diketahui secara pasti, walaupun demikian telah dipertimbangkan  peranan dari lipoprotein glikasi yang non enzimatik.Lesi aterosklerosis pada DM dimulai dengan oksidasi kol-LDL yang meningkat dengan kol-HDL yang rendah.  Sebagai akibat rasio LDL per HDL yang meningkat cenderung terjadi aterosklerosis.Faktor lain yang mempercepat aterosklerosis pada DM adalah peningkatan agregasi trombosit  akibat kenaikan sintesis tromboxan A  dan menurunnya sintesis protasiklin. Hiperglikemia sendiri secara tidak langsung menyebabkan kenaikan sekresi endotelin sedang produksi nitrikoksida menurun pada  mikrovaskulatur manusia.

    Endotelin adalah vasokonstriktor kuat dan mitogenik terhadap vaskuler otot polos, sedang nitrikoksid merupakan vasodilator yang bersifat antimitogenik dan menekan agregasi trombosit.

  Patogenesis makrovaskuler didasari oleh gangguan sel endotel dan interaksi trombosit dan lipid dan metabolisme lipoprotein.

       Kenaikan glukosa darah dan meningkatnya kolesterol “low-density lipoprotein”(LDL) dan kolesterol “Very-low density lipoprotein( VLDL) dapat memberi efek pada endotelium vaskuler  dan hipertensi meningkatkan risiko injury endotel vaskuler .  Kerusakan sel endotel menyebabkan agregasi makrofag dan trombosit yang menyebabkan pengeluaran “growth factor” yang merangsang proliferasi sel otot polos dan deposisi sel busa (“foam Cells”) . Ditemukan 7 efek metabolik yang toksik untuk  jaringan endotel yaitu efek langsung, imunologi, reologi, sitokin, glikasi,oksidan dan sorbitol yang disingkat oleh Askandar  dengan DIR-C-GOS . Selanjutnya terjadi agregasi dan adesi trombosist  yang melibatkan terutama faktor von Willebrand dan dengan adanya fibrinogen yang meningkat pada DM tidak terawat akan memudahkan terjadinya mikrotrombus.

    Peranan sindroma metabolik yang dikemukakan oleh Reaven pada tahun 1988 yang   merupakan faktor risiko  independent  dalam terjadinya gangguan pembuluh darah besar dan ini terutama tampak pada DM tipe-2 dimana juga ditemukan faktor independent lainnya seperti hipertensi, dislipidemia dan obesitas.

  Hiperinsulinemia secara langsung menyebabkan kenaikan prevalensi hipertensi  pada DM tipe-2 yang dapat berhubungan dengan kenaikan  rangsangan terhadap sistim syaraf simpatis, meningkatkan dan merangsang reabsorbsi natrium dari tubuli proksimal.

      Hipertensi dijumpai 2 kali lebih sering pada DM dibanding dengan non diabetes dan merupakan faktor risiko utama untuk penyakit vaskular perifer(PVP). Sedang dislipidemia juga dijumpai lebih sering pada DM tipe-2 dan semua faktor ini dapat bersama-sama mempercepat terjadinya aterosklerosis .

    Sekitar 80-90 % lesi pada kaki pada DM  disertai oleh iskemia yang signifikan . Adanya iskemi menyebabkan  menyebabkan katabolisme terganggu  mengakibatkan kadar serotonin( 5 hidroksi triptamin =5HT) meningkat, dan pembuluh darah  serta trombosit cenderung supersensitif terhadap  5 hidroksi triptamin (5HT) yang memberi efek biolgi.Serotonin yang meningkat  akan memberi efek biologik pada arteri dan vena   konstriksi yang disebut sebgai vasospasme komplit. Selain itu serotonin (5HT)  memudahkan trombosit disekitarnya  untuk ikut dalam proses terbentuknya trombus dimana mempebesar efek agonis lainnya seperti ADP,trombin dan kolagen.

     Semua efek serotonin (5HT) dimediasi oleh reseptor subtipe untuk serotonin yang dikenal sebagai resptor 5HT2 dimana konsentrasinya meninggi pada  dinding pembuluh darah dan trombosit . Dan kenaikannya dapat dilihat pada berbagai penyakit akut maupun kronik seperti,klaudikasio intermitten, hipertensi, penyakit lipid, stroke,infark miokard, penyakit Raynaud  dan ketuaan.

  Onset dari  penyakit vaskular perifer(PVP) terkait dengan iskemia dan kenaikan kadar serotonin . Serotonin merupakan salah satu mediator fisiologi vaskular dimana  pada tahun 1980 ditemukan lokasi  reseptor serotonin pada trombosit dan sel otot polos (reseptor S2) dan juga pada vaskular (reseptor S1).

KELUHAN DAN GEJALA

   Berbagai simptom akibat lesi aterosklerosis bervariasi tergantung lokasi aterosklerosis.  Khusus pada daerah vaskuler perifer dapat menyebabkan keluhan klaudikasio intermitten sampai dengan gangren . Keluhan dan tanda-tanda penyakit vaskular perifer(PVP)  pada ekstremitas bawah yaitu :
1.  Klaudikasio intermitten
2.  Kaki dingin
3.  Nyeri nokturnal
4.  Nyeri waktu istirahat
5.  Nyeri waktu istirahat dan nokturnal
6.  Denyut  nadi hilang
7.  Pucat waktu tungkai bawah dinaikkan
8.  Pengisian vena terlambat waktu tungkai bawah diangkat
9.  Kemerahan  akibat peradangan
10. Atrofi jaringan lemak subkutan
11. Kulit menipis
12. Bulu kaki didaerah kaki dan jari-jari kaki menghilang
13. Penebalan kuku , biasanya disertai infeksi jamur
14. gangren

15. Dan lain-lain seperti sindroma jari biru, oklusi vaskuler 
    akut
     sebelumnya sarjana Fontaine membagi penyakit vaskular perifer(PVP)  berdasarkan beratnya gejala klinis, yang terdiri atas 4 tingkatan yaitu :
1. Tingkat 1: tidak ditemukan keluhan
2. Tingkat 2 : klaudikatio intermitten
3. Tingkat 3 : nyeri iskemik waktu istirahat
4. Tingkat 4 : lesi pada kulit atau gangren.


       Belakangan  klasifikasi  ini  dimodifikasi oleh Komisi Ad Hoc menjadi 7 tingkatan.

      Namun demikian banyak pasien PVP tidak memberi kelainan fisis atau  menunjukkan keluhan  maka perlu pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan khusus untuk menetapkan diagnosis penyakit vaskular perifer(PVP).  Pemeriksaan non invasif yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan Doppler dan pencatatan volume denyut nadi,(pletismografi) . Diperkirakan 21 % pasien DM yang pada pemeriksaan fisis normal, ternyata  dengan pemeriksaan laboratorium terbukti PVP .

     Adanya Neuropati baik neuropati otonom,maupun sensoris dan motorik dapat menyebabkan deformitas umum misalnya “claw” dari jari-jari kaki,gangguan sensoris menyebabkan  tekanan pada metatarsal(kaki) tidak diketahui oleh penderita,neuropati otonom akan  menyebabkan aktifitas kelenjar minyak dan keringat menurun atau hilang sehingga kulit kering dan mudah pecah dan timbul fissura. 

     Penyakit vaskuler perifer dapat berupa tromboangitis obliterans,  aterosklerosis obliternas dan kaki diabetik.


Pemeriksaan  dan diagnosis penyakit vaskular perifer(PVP)

      Untuk memastikan adanya PVP diperlukan pemeriksaan non invasif dan invasif.Pemeriksaan non invasif meliputi 2 parameter yang sering dipakai adalah : Ankle Blood Flow: Mengukur aliran darah pada pergelangan kaki dengan alat plethysmograf. Besarnya aliran darah pada pergelangan kaki  diukur dengan manset 30-50 mmHg setelah terjadi hiperemia reaktif .

       Pemeriksaan dengan indeks sistolik yaitu dengan rasio tekanan sistolik pergelangan kaki dengan tekanana pada lengan  adalah metode yang simpel dan dapat memprediksi PVP di tungkai secara dini. Normal rasio > 0,9 dan bila lebih rendah dari normal menunjukkan adanya obtruksi arterial yang bermanifestasi dengan  menurunnya perfusi di perifer.

   Ankle Pressure index (API) : Tekanan pada pergelangan kaki pertama diamati dengan Doppler ultrasonic Flowmeter  dan dibagi dengan tekanan pada lengan untuk menghitung API . Pemeriksaan invasif  berupa pemeriksaan angiografi.

PENGOBATAN

   Sebagai langkah pertama pengobatan dan pengelolalan penyakit vaskular perifer  adalah  pertama mengatasi faktor risiko aterosklerosis yang umumnya  disebabkan  diabetes melitus (44%), hipertensi (60 %), hiperlipidemia ( 55%) dan perokok (99 %). Ada sejumlah pendekatan untuk meningkatkan blood flow antara lain obat-obat vasodilator, simpatektomi dan anti trombosit  . Obat vasodilator cenderung menyebabkan penurunan tekanan sistemik sehingga dapat mengakibatkan kesukaran terjadinya kolateral vaskuler .

   Pengobatan kedua adalah tindakan medis atau bedah  bertujuan mengurangi keluhan akibat iskemia pada kaki antara lain terapi fisik, latihan atau exersice, obat – obat ( anti trombosit, obat vasoaktif), intervensi intra vaskuler (PTA,stent) dan operasi. Pemilihan obat tergantung pada keluhan (symptoms) dalam hal ini perhatikan Fontaine’s classification, beratnya lesi vaskuler dan pilihan pasien  sendiri.Diyakini dengan ketiga metoda pengobatan yang diuraikan dapat memperbaiki tidak hanya pada kualitas hidup pasien akan tetapi dapat pula memperbaiki prognosis.   

   Pada saat ini obat anti trombotik telah diterima oleh FDA untuk pengobatan claudicatio intermittent . Hal ini dianggap logik karena pada DM didapatkan kenaikan agregasi trombosit. Obat seperti dipyridamole dan aspirin ternyata dari penelitian menunjukkan tidak memberikan efek bermakna  pada vaskuler.

   Menurut cara kerjanya ada beberapa golongan obat anti trombotik yang telah dirangkum yaitu obat-obat yang meningkatkan c AMP,  menekan trombin, menekan pengikatan adrenalin, dan menekan ADP.  

  Naftidrofuril  merupakan antivasokonstriktor akibat efek antagonistik pada serotonin dan menurunkan serotonin sehingga efek proliferasi pada sel-sel otot polos menurun serta menurunkan vasospasme pada pembuluh darah  dan terakhir berguna pada pasien yang mengalami rekonstruksi vaskuler.

Efek naftidrofuril pada  penyakit vaskular perifer

   Sebagimana telah diketahui serotonin berperan pada iskemia perifer dan serebral yaitu dengan menginduksi vasokonstriksi, agregasi trombosit, permeabilitas vaskular dan proliferasi sel.

  Kerja obat anti trombotik naftidrofuril secara invitro dan invivo adalah merupakan inhibitor agregasi trombosit yang kuat yang diinduksi oleh substansi agregator fisiologis seperti adenosis di pospat / ADP, kolagen, epinefrin, Platelets Activatuing Factor(PAF), thromboxan A2 (TxA2). Meskipun obat ini dilaporkan tidak mempunyai efek vasodilatasi perifer tetapi obat tersebut dilaporkan  mempunyai  efek untuk meningkatkan aliran darah dan keamanannya telah dibuktikan cukup tinggi dengan beberapa penelitian farmakologi dan toksilogi secara umum. Efek obat anti trombotik ini selain telah terbukti dapat memperbaiki tanda-tanda klinis oklusi arteri kronis, dapat pula mengurangi ukuran lesi karena iskemik dan mengurangi rasa nyeri  saat istirahat.

   Naftidrofuril memiliki efek pada vaskular maupun  metabolik, memperbaiki metabolisme glukosa aerobik dengan mengaktifkan enzim suksinat dehidrogenase dan siklus Krebs. Disamping itu Naftidrofuril memperbaiki suplai darah serta kerusakan iskemik pada dinding pembuluh darah dengan menghambat reseptor 5 – HT2 (resptor serotonin)secara spesifik.Sifat yang terakhir ini memungkinkan inhibisi terhadap efek-efek merusak dari serotonin pada lokasi cedera vaskular tanpa mempengaruhi sirkulasi umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naftidrofuril dapat dianggap sebagai antikonstriktor dan bukan sebagai vasodilator sebagaiman diduga sebelumnya.    

    Disamping itu naftidrofuril meningkatkan aliran darah dengan menurunkan tonus arteri. Pada tingkat jaringan  naftidrofuril meningkatkan potensi energi sel sehingga berperan dalam mempertahankan metabolisme glukosa secara aerobik ; hal ini memungkinkan terpeliharanya fungsi sel dalam kondisi iskemia lokal.

  Efek  naftidrofuril pada penyakit vaskuler perifer terutama dalam hal keluhan dan simptom seperti nyeri pada istirahat telah terbukti efektif dibanding dengan obat analgesik yang kuat dengan memberi perbaikan keluhan lokal dan keluhan umum selama jangka waktu yang ditentukan sampai tindakan bedah rekonstruksi.Efek ini terlihat dari penelitian multisenter di 40 Rumah Sakit. Efek naftidrofuril telah dikenal sebagai antagonis resptor serotonin(s2)  spesifik , namun efeknya pada metabolisme sel khususnya pada sel yang iskemik belum diketahui dengan pasti.  

    Efek naftidrofuril terhadap sel–sel endotel terlihat pada uji klinis, dimana obat tersebut efektif dalam melindungi kelangsungan hidup sel endotelial dari keadaan kekurangan oksigen maupun dari kematian akibat hipoksia dengan meningkatkan cadangan ATP dan menurunkan kadar asam laktat.

   Penelitian Heyder terhadap 25 kasus oklusi kronik arteri pada eksteremitas  yang berumur 47-80 tahun  diberikan naftidrofuril  3 X 200 mg perhari selama 4 minggu pengobatan, menunjukkan “ankle blood flow”(ABF) meningkat secara bermakna  pada tungkai yang terkena  dan keluhan menurun secara bermakna pada akhir penelitian. Dapat disimpulkan naftidrofuril memberi keuntungan bermakna pada efek hemodinamik oklusi kronik arteri di ekstremitas .

   Penelitian sebelumnya oleh Adhoute dkk.(1986) , melaporkan   selama 6 bulan penelitian  pada  pasien-pasien yang menderita klaudikasio intermitten (Stadium II dari Fontain) diberikan naftidrofuril 3 kali 200 mg dan dibandingkan dengan plasebo . Hasil akhir menunjukkan  adanya perbaikan yang signifikan  pada jarak jalan pasien yang mendapat naftidrofuril(peningkatan jarak tempuh  berjalan 94%)  dibanding dengan plasebo. Hasil ini menunjukkan bahwa naftidrofuril  merupakan pengobatan farmakolologik yang baik pada pasien-pasien dengan PVP (Fontaine II)

   Penelitian Lehert dkk.(1994) yang menganalisa secara retrospektif 5 penelitian yang desainnya berbeda dengan populasi berbeda menyimpulkan adanya efek naftidrofuril  pada kaludikasio intermitten dan menurunkan secara signifikan insidens kardiovaskular dan menurunkan intervensi surgikal.

Ringkasan

  Penyakit vaskuler perifer pada diabetes melitus banyak ditemukan dalam klinik sebagai komplikasi kronik diabetes melitus. Meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung namun bukti klinis menunjukkan adanya komplikasi ini memungkinkan komplikasi makroangiopati ditempat lain seperti jantung dan otak dimana keadaan ini dapat menyebabkan kematian.  

  Penyakit vaskuler perifer perlu diketahui sedini mungkin dan tindakan pencegahan primer dan sekunder perlu dilakukan dengan seksama. Naftidrofuril oksalat merupakan obat antagonis serotonin spesifik  pada peredaran darah yang efektif mengatasi gangguan  metabolisme jaringan yang iskemia dengan menurunkan kadar asam laktat dan meningkatkan cadangan ATP.Disamping itu naftidrofuril dikenal sebagai obat anti vasokonstriktor, memperbaiki insufisiensi peredaran darah dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan mengurangi agregasi trombosit.

  Dosis 3 kali 300-600 mg perhari sangat bermanfaat menurunkan derajat Penyakit vaskuler perifer terutama setelah 6 bulan yang dibuktikan dengan  meningkatnya secara bermakna jarak tempuh waktu berjalan dan menurunkan prosudur operasi revaskularisasi dibanding dengan plasebo. Selain itu naftidrofuril dalam uji klinis dengan plasebo terbukti secara bermakna mempercepat penyembuhan ulkus vaskular setelah 2-3 bulan pengobatan.

   Pada umumnya naftidrofuril ditolerir dengan baik  dengan  efek samping yang tidak diinginkan  sangat minimal .

Daftar Pustaka

1.  Steer,HW., Cuckle,HS., Franklin,PM., Morris,PJ.The influence 
    of Diabetes mellitus upon peripheral vascular  disease.
    Surgery, Gynecology & Obstetrics.157: p.64-71,1983.
2.  LoGerfo,FW., Gibbons,GW.  Vascular disease of the lower
    extremities in diabetes mellitus : Etiology and 
    Management. In Josli’s Diabetes mellitus 13 th edition edited
    by  Kahn,CR., Weir,GC. Lea & Febiger Philadelphia a waverly 
    company 1994 :  p.970 –975.
3.  Shaw,KM. Macrovascular disease in Diabetes in Diabetic 
    complications.Edited by K.M Shaw.John Wiley & Sons 
    Chichester.1996:p.179-206.
4.  Puruhito. Diabetes mellitus dan Penyakit Vaskular perifer.
    Dalam  Naskah lengkap Konas  III PERSADI  14,15,16 Oktober
    1995. Editor: Askandar Tjokroprawiro, Hendromartono, Ari
    Sutjahjo,  Hans Tandra, Agung  Pranoto: 1995: p.81-92.
5.  LoGerfo,FW., Gibbons,GW. Vascular disease of the lower 
    extremities in diabetes mellitus.  in Endocrinology and
    Metabolism Clinics of North America. Chronic Complications of
    Diabetes Edited by: Brownlee,M., King,GL. Vol.25 WB Saunders
    Comp Philadelphia.1996:p.439-446.Shaw,KM. Macrovascular 
    disease in Diabetes in Diabetic  complications.Edited by K.M
    Shaw.John Wiley & Sons Chichester.1996:p.179-206.
6.  Foster,DW. Diabetes mellitus  in Harrison’s Principles of
    Internal Medicine .Edit: Isselbacher,KJ. ,Braunwald,E. 
   ,Wilson,JD et al. 13 th edit. Vol.2. McGraw-Hill New York 1994
    : p1994.
7.  Barnett,AH. Diabetes and the Vascular system. An overview
    Diabetes and Vascular disease edited by Barnett,AH. Astra 
    Zeneca.1998: p. 3-8.
8.  Askandar Tjokroprawiro .Antithrombotic agents in Diabetes
    mellitus dalm Naskah lengkap Simposium  Diabetes  melitus era
    milenium baru Manado 5 Agustus 2000.editor:
    Sumual,AR,Pandelaki,K.,Moeis,ET,Lukito,B. Diterbitkan
    oleh Fak Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.2000;
    p.69-83.
9.  Wiernsperger,NF. Serotonin, 5-HT2Receptor & Receptor blocks
    by Naftidrofuril :J.Cardiovasc. Pharmacol. 23    
    (suppl.3):S37-S43,1994.
10. London Praxilen Forum : Detection and evolution of
    polyvascular disease : can we help ? Praxilene 
    highlights. Thursday,April 6th,1995.
11. Barradel ,LB., Brogden,RN. Oral Naftidrofuryl : A Riview of
    its Pharmacology and Therapeutic use in the management of
    peripheral occlusive arterial disease.Drug &
    Aging.8(4)299-322,1996.
12. Levin,ME., Sicard,GA. Peripheral vascular disease in the 
    person with diabetes. In Diabetes mellitus . Theory  and 
    Practice  edited by: Rifkin,H., Porte,D . 4th edit. Elsevier
    New York.1990 :p.768 – 791.
13. Matsuo,H. The management  of patients with peripheral 
    vascular occlusive disease(PVD). Dalam  Kumpulan Naskah 
    lengkap Konas IV PERKENI.Editor : Adam,JMF, Sanusi,H., 
    Tendean,P., Laurence GS.,Aman B. Makassar 16-19 November 
    1997 : p.68.
14. Heyder ,F. Hemodynamic effects”Naftidrofuril “ in Periferal 
    oclusive arteri disease di presentesasikan pada  KOPAPDI di
    Surabaya pada 5 Agustus –8 Agustus 2000.
15. Meel,SE., Preece,LE., Walker,WF  The usefulness of 
    naftidrofuril in severe peripheral ischemia. A symptomatic 
    assesnebt using linear analogue scales . Angiology.33:
    625-634, 1982.
16. Michiels,C., Arnould,T., Janssens,D. et al . Effects of 
    Naftidrofuril on Hypoxia-induced activation and  mortality of
    human endothelial cells. The J.of Pharmacology and 
    Experimental therapeutics. 267 :904-911,1993.
17. Adhoute,G.et al : Naftidrofuril in chronic arterial disease :
    Result of six month controlled multicenter study using 
    Naftidrofuril  tablets 200 mg . Angiology. The Journal of 
    Vacular diseases :160-167, 1986.
18. Lehert,P., Comte,S., Gamand,S., Brown,M. Naftidrofuril in
    intermittent Claudication : A Retrospective
    analysis.J.Cardiovasc. Pharmacol.23 (suppl.3),S48-S52,1994.


    Artikel/naskah ini  dibacakan pada simposium diabetes melitus dengan tema “New Approach in the Treatment of Type 2 Diabetes” 21 – 22 Oktober 2000. Acara diadakan oleh PERKENI bekerja sama dengan BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

   Semoga dapat sebagai penambah referensi dan memberi manfaat bagi kita semua, Amin
Copyright © Dokter Network Angk 97